Mediasi Sengketa Lahan SDN 2 Sambangan Deadlock

7 hours ago 2
ARTICLE AD BOX
SINGARAJA, NusaBali
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng menghadirkan sejumlah pihak untuk mediasi sengketa lahan SDN 2 Sambangan, Rabu (14/5) siang. Namun mediasi berujung deadlock. Pengklaim lahan dan Pemkab Buleleng akhirnya memilih untuk menempuh jalur hukum, untuk satu-satunya jalan keluar sengketa tersebut.

Dalam mediasi tersebut menghadirkan keluarga pengklaim lahan didampingi kuasa hukum, Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD), Camat Sukasada, Perbekel Sambangan. Pertemuan yang berlangsung di ruang Kadisdikpora Buleleng kurang lebih satu jam itu tidak mendapat kesepakatan. Kedua belah pihak yang bersengketa sama-sama kekeh mempertahankan pendapat masing-masing.

Pelaksana Tugas (Plt) Disdikpora Buleleng, Putu Ariadi Pribadi ditemui usai mediasi menjelaskan, mediasi menindaklanjuti surat berita acara rapat Badan Pertanahan Negara (BPN) per 15 April 2025. BPN menginstruksikan Pemkab Buleleng untuk melakukan mediasi atas proses penerbitan sertifikat oleh Pemkab Buleleng atas lahan SDN 2 Sambangan yang disanggah oleh pengklaim yakni keluarga Panurai. BPN memberikan waktu mediasi selama 30 hari untuk dapat ditentukan proses lebih lanjut.

“Hasil mediasi tadi, kami Pemkab Buleleng dan keluarga pengklaim lahan sepakat polemik lahan ini akan kita selesaikan melalui jalur hukum. Apapun hasil penetapan yang mempunyai hukum tetap itu akan kita patuhi bersama,” terang Ariadi.

Pemkab Buleleng, menurut Ariadi, memutuskan tetap akan melanjutkan proses pensertifikatan lahan SDN 2 Sambangan, atas dasar catatan serah terima dari Pemprov Bali. Lahan ini sudah digunakan untuk SD Inpres sejak tahun 1960 silam.

“Kalau kesepakatan pemerintah dengan pemilik lahan sebelum tahun 1960 itu kami tidak tahu, yang jelas ada dokumen serah terima dari Pemprov terkait pemanfaatan lahan menjadi sekolah, itu sudah 60 tahun lebih,” ungkap Ariadi.

Dalam pertemuan itu juga sempat disampaikan pengklaim menuntut ganti rugi atas lahan tersebut. Namun Ariadi menjelaskan ketentuan pemerintah mengeluarkan ganti rugi atas lahan harus ada bukti berkekuatan hukum, baik berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Keputusan Pengadilan yang memenangkan pihaknya.

“Tadi yang ditunjukkan hanya kohir pembayaran pajak tahun 1973, tidak ada pipil, hanya bukti untuk pembayaran pajak. Kalaupun ada bukti hak milik nanti nilainya (ganti rugi) ditentukan melalui appraisal,” papar pejabat asal Desa Temukus, Kecamatan Banjar, Buleleng ini.

Sementara itu, Nyoman Tirtawan yang mendamping keluarga pengklaim lahan, mengatakan kohir yang dipegang dan pajak yang dibayar kepada pemerintah cukup membuktikan seseorang menguasai tanah tersebut.

“Dimana-mana seluruh Indonesia, masyarakat yang namanya tercantum sebagai wajib pajak itu yang menguasai dan punya hak atas tanah tersebut. Ini sudah alas hak penguasaan turun temurun dengan membayar pajak,” kata mantan anggota DPRD Provinsi Bali ini.

Pengklaim lahan pun menuntut pemerintah memberikan ganti rugi atas lahan seluas 8 are yang digunakan untuk SD, dengan nilai Rp 100 juta per are. Nilai tersebut mengacu pada ganti rugi lahan yang juga milik keluarga pengklaim yang dimanfaatkan desa sebagai Balai Banjar Dinas Banjar Anyar, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Buleleng yang tepat berada di sebelah selatan SDN 2 Sambangan. Ganti rugi lahan seluas 1 are itu dituntut keluarga kepada Pemdes Sambangan 4 tahun lalu.

“Banjar yang tidak punya uang banyak saja mau ganti rugi, masak Pemerintah Kabupaten tidak mau. Lahan milik Panurai itu kan sudah jelas sekali, semua masyarakat di sana, desa juga semuanya tahu itu,” imbuh Tirtawan. 7 k23
Read Entire Article