Puluhan Ribu Krama Ngiring ke Pura Luhur Uluwatu dalam Prosesi Upacara Masupati Ida Sasuhunan

19 hours ago 4
ARTICLE AD BOX
Menurut Sekretaris Sekaa Barong Jimbaran, I Ketut Sutarja, upacara ini dilaksanakan setiap melewati lima kali Hari Raya Galungan atau dalam hitungan kalender sekitar dua setengah tahun. 

Namun hal ini juga dapat berubah tergantung dari pawisik yang muncul.Sutarja menceritakan, tradisi berjalan kaki bukan hanya pilihan teknis, tetapi bentuk pengabdian (subakti) kepada Ida Bathara Sasuhunan. Tradisi tersebut dimulai saat galang kangin atau saat matahari terbit.

“Keuntungannya di jaman modern yang serba gampang ini, kami bangga bisa mempertahankan sebuah tradisi di era modern ini sulit sehingga subakti kita di sini, nilainya luar biasa,” lanjutnya.

Prosesi utama pada 11 Mei dimulai pukul 06.00 Wita dari Pura Ulun Siwi menuju Pura Parerepan, Pecatu. Setelah beristirahat, rombongan melanjutkan perjalanan ke Pura Luhur Uluwatu. 

Di sana, puncak upacara masupati dilaksanakan. Usai upacara, krama melakukan mepamit budal, di mana terjadi proses ngunying saat kembali ke Pura Parerepan. Pada malam hari, digelar pementasan Calonarang di Lapangan Pecatu. Kemudian pada Senin (12/5) pagi, seluruh rombongan kembali berjalan kaki menuju Pura Ulun Swi Jimbaran.

Pelawatan yang diiringi meliputi satu Barong dan tiga Rangda, simbol dari sesuhunan yang disungsung oleh Desa Adat Jimbaran. Ritual ini tak bisa dilepaskan dari proses metangi, yaitu penyomian atau proses menyeimbangkan unsur butha kala untuk menciptakan harmoni semesta.

“Kami juga menyungsung tapel grubug yang berfungsi menstabilkan energi saat ada gangguan atau kekacauan. Jika sesuhunan tidak ‘napak pertiwi’, tidak ada upacara metangi, bisa muncul grubug (bencana),” jelas Sutarja.

Prosesi ini juga mencakup sembahyang dan persembahan di sejumlah pura sepanjang rute sebelum pelawatan melinggih di Pura Parerepan Pecatu. Dalam upacara ini, lanjut Sutarja, terdapat pantangan bagi krama yang bersentuhan langsung dengan prosesi petangian, seperti tidak diperbolehkan makan daging babi. Sementara bagi masyarakat umum yang ikut sebagai bentuk subakti, tidak ada pantangan khusus.

“Harapan setelah upacara ini di lakukan, bagi kami masyarakat situasi di Jimbaran, makro dan makrokosmos itu lebih damai, tentram, dan makmur. Karena esensi barong dan rangda itu adalah penyomian agar lebih rukun, tidak peduli warga itu pendatang yang penting mendapat dampak baiknya,” pungkasnya. *ol3

Read Entire Article